tribunnews.com |
So what...? apakah tidak boleh optimis, haramkah pesimis.. ?,
Sebuah artikel menarik yang ditulis
oleh Pak Waidi Akbar. Pesimis itu penting.
Hampir semua orang, apalagi seorang motivator, menganjurkan untuk
tetap optimis dan hindari pesimis. Masuk akal memang, bila kebanyakan dari kita
lebih suka optimis dari pada pesimis. Optimisme lebih membuka peluang untuk
sukses dari pada pesimisme. Melalui optimisme, seseorang bisa merubah tantangan
menjadi peluang. Bahkan melalui optimisme, masalah besar bisa menjadi kecil
karena melalui optimisme akan muncul sejumlah alternatif penyelesaian masalah.
Sebaliknya, pesimisme bisa menutup sejumlah peluang dan bahkan mematikan
semangat. Dengan kata lain, ”Seorang pesimis melihat kesulitan pada setiap
kesempatan tapi seorang optimis melihat kesempatan pada setiap kesulitan”
(Andrie Wongso).
Benarkah demikian? Tergantung bagaimana kita menempatkan keduanya secara
tepat. Tidak selamanya bahwa optimisme merupakan salah satu faktor sukses.
Optimisme yang berlebihan akan cenderung menjadi emosional, semangat berlebihan
dapat menyebabkan dirinya cepat loyo dan tidak berpikir antisipatif, segalanya
dianggap sudah siap, pada hal sehebat apapun rencana kita masih ada
kekurangannya yang belum terantisipasi. Begitu pula dengan pesimisme yang
belebihan menjadikan diri kita cenderung takut melakukan ssesuatu.
Segalanya kalau berlebihan menjadi ekstrem yang merugikan dan berbahaya.
Optimisme yang belebihan ibarat kita mengendarai mobil dengan tancap gas,
digeber terus, tidak peduli ada lubang menganga dan tikungan tajam. Bila hal
ini diteruskan akan memakan banyak korban. Begitu pula dengan pesimisme, ibarat
naik mobil tetapi pedal remnya ditekan/diinjak terus sementara pedal gas
digeber maka mobil hanya meraung-raung tetapi hanya jalan di tempat.
Lantas bagaimana memperlakukan keduanya? Perlakukan keduanya secara tepat dan proporsional sesuai dengan kepentingannya. Kita tidak dapat hanya menggunakan aspek optimis optimis saja misalnya. Pada saat pesimisme datang, perlakukanlah itu sebagai masukan penting untuk berintropeksi segala kemungkinan kegagalan. Begitu pesimisme datang, ambil pesan baiknya yakni sebagai peluang berpikir antisipatif dan evaluatif sehingga dapat menyempurnakan optimisme.
Seseorang yang hanya menggunakan aspek optimis saja dapat terjebak dalam perangkap tersanjung. Seseorang yang tersanjung selalu mendapatkan masukan-masukan yang menyenangkan dan baik-baik saja. Itu adalah perangkap yang membiuskan sehingga berpeluang melupakan hal-hal lain yang masih tetap diperlukan. Ia terperangkap dalam tersanjung yang menjadikan dirinya tidak mampu melihat kekurangan-kekurangannya.
Secara neurologis, yakni bagaimana kerja otak dalam mengolah
informasi, pesimisme adalah sebuah jeda reflektif yang memungkin kerja otak
tidak terperangkap ke wilayah kerja otak emosional dan mengabaikan kerja otak
rasional. Perlu diketahui bahwa kerja otak setelah melalui masukan (stimulus)
dari luar dan diproses melalui sejumlah filter (neuron, rasa, bahasa, suara dan
internal image lainnya) dan hasilnya berupa persepsi disalurkan sesuai
kebutuhannya. Hasil olah pikirnya –oleh pemiliknya (kita)—disalurkan menurut
kepentingannya. Maka manakala kepetingannya adalah dalam rangka membangun
optimisme, maka semua hasil olah pikir disimpan dan dalam rangka memperkuat
optimisme.
Kerja otak itu bersifat on-off. Artinya, otak hampir tidak mungkin untuk fokus ke banyak hal dalam satuan waktu bersamaan. Pasti ketika otak sedang fokus ke satu hal, akan melupakan banyak hal. Ketika Anda sedang fokus pada artikel ini, misalnya, boleh jadi lupa segala kejadian di sekitar, bahkan anak Anda merengek minta uang pun Anda tidak mendengarkannya. Seseorang ketika fokus pada optimisme, sangat mungkin mengabaikan semua pesan baik yang dibawa oleh aspek pesimisme.
Secara neurologis, tugas khusus dari pesimisme adalah memberikan
jeda atau ruang khusus bagi otak agar seluruh stimulus yang masuk dan hasil
olah pikir tidak dimasukkan dan dimaksudkan untuk kepentingan optimisme.
Pesimisme dengan demikian berfungsi sebagai ”manajer” yang mengatur kapan
saatnya optimisme digas dan kapan pesimisme mengerem.
Saat pesimisme masuk ke dalam otak, diproses (melalui mekanisme jaringan neuron yang sangat kompleks), kemudian mengerem optimisme, pada saat itulah pesimisme memberi kesempatan kepada otak rasional untuk menilai secara objektif semua hal yang telah dilakukan oleh optimisme. Pesimisme, dengan demikian, adalah alat untuk mengontrol optimisme dan sekaligus memberikan peluang kepada otak rasional untuk bekerja secara aktif menilai dan mengevaluasi semua aktifitas emosional yang berlebel optimisme. Sebuah kegiatan tanpa pesimisme berarti telah menutup rapat jalur pikiran rasional untuk bekerja. Apa jadinya sebuah rencana tanpa otak rasional?
Saat pesimisme masuk ke dalam otak, diproses (melalui mekanisme jaringan neuron yang sangat kompleks), kemudian mengerem optimisme, pada saat itulah pesimisme memberi kesempatan kepada otak rasional untuk menilai secara objektif semua hal yang telah dilakukan oleh optimisme. Pesimisme, dengan demikian, adalah alat untuk mengontrol optimisme dan sekaligus memberikan peluang kepada otak rasional untuk bekerja secara aktif menilai dan mengevaluasi semua aktifitas emosional yang berlebel optimisme. Sebuah kegiatan tanpa pesimisme berarti telah menutup rapat jalur pikiran rasional untuk bekerja. Apa jadinya sebuah rencana tanpa otak rasional?
Dalam dataran praktis, dalam sebuah pertemuan (rapat) misalnya,
manakala semua peserta sebegitu optimisnya akan sebuah rencana, maka yang
terjadi adalah semangat yang membara di antara mereka. Ingat, pada titik eforia
seperti itu semua peserta nyaris berbicara tentang ”enaknya” saja, tetapi lupa
bicara tentang ”pahitnya”. Namun, begitu salah satu peserta berbicara pahitnya,
baru mereka menyadari bahwa ada banyak hal yang mesti tetap dipertimbangkan.
Betapa banyak celah kegagalan yang mesti diantisipasi.
Pesimisme hadir bukan untuk menghentikan optimisme. Pesimisme
hadir adalah dalam rangka menghentikan sejenak langkah optimis, memberi
kesempatan untuk berpikir logis, ada jeda evaluatif agar optimisme yang sedang
dibangun bukan optimisme yang membabi buta. Tidak sia-sia manusia menciptakan
pesimisme manakala kita dapat menempatkannya pada porsi yang benar dan tepat.
Selamat mencoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar